Mahboba’s Promise is a book written
by Mahboba Rawi. This is an inspiring true story of an extraordinary Australian
mother who transforms the lives of hundreds of women and children across the
world every day.
Mahboba adalah seorang wanita
asal Afghanistan. Dia lahir dan tumbuh dewasa di negaranya, hidup damai dengan
ayah, ibu dan saudara-saudarinya. Pada tahun 1980, Rusia
menduduki Afghanistan dan melenyapkan semua kehidupan normal dan tenteram di negara
itu. Selama kependudukan Rusia, Mahboba masih bersekolah dan aktif memimpin
kegiatan protes dan demonstrasi menentang Rusia bersama dengan teman-teman
sekolahnya.
Sampai pada suatu hari, Mahboba
diburu oleh prajurit Rusia dan akan dijebloskan ke penjara karena aksi
protesnya. Mahboba memutuskan untuk meninggalkan negara asalnya dan hijrah ke
Pakistan, menjadi pengungsi meninggalkan ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Dia
tinggal di Peshawar, sebuah daerah pengungsian di Pakistan.
Mahboba memutuskan untuk
meninggalkan Pakistan, dan pindah ke India bersama kakaknya. Sebuah perjalanan
yang sulit karena mereka tidak memiliki identitas diri dan harus menyerahkan
seluruh harta mereka kepada para petugas agar diperbolehkan melewati
perbatasan.
Setelah melalui perjalanan berat,
dan berbagai kesulitan ekonomi, akhirnya Mahbona menikah dengan seorang pemuda
bernama Assad di India. Mahboba pindah ke Australia 6 bulan kemudian setelah
pernikahan mereka.
Mahboba dan Assad membangun
sebuah keluarga kecil dan sederhana di Australia. Mereka memiliki seorang anak
laki-laki bernama Arash dan anak perempuan bernama Tamana. Ayah, ibu dan
saudara-saudarinya menyusul Mahboba ke Australia beberapa tahun kemudian. Setelah
Arash, putra pertama mereka meninggal dunia, hubungan Mahboba dan Assad menjadi
renggang, dan semakin lama semakin memburuk. Mahboba melahirkan putra ketiga
yang diberi nama Surroush. Namun, seberapa besar usaha Mahboba untuk
mempertahankan pernikahan mereka, pada akhirnya Assad mengirimkan surat cerai
kepadanya. Mahboba tidak menginginkan adanya perceraian dan tidak mau
menandatangani surat cerai tersebut. Namun, Assad tetap ingin bercerai dan
dengan terpaksa pada akhirnya mereka resmi bercerai.
Mahboba yang frustasi atas
kehilangan suami dan mulai menjalani kehidupan sebagai janda, mengalami
kesulitan ekonomi. Dia mulai kembali bersekolah, melanjutkan pendidikannya yang
dulu sempat terhenti. Mahboba mulai berinteraksi dengan sekelompok wanita Afghani.
Mahboba kemudian mulai memikirkan
nasib orang-orang di negara asalnya. Setelah kependudukan Rusia berakhir pada
tahun 1989, Uni Soviet tetap mensuport kepemerintahan komunis di Afghanistan demi
kepentingan ekonomi. Ketika Uni Soviet pecah pada tahun 1992, pemerintah
Afghanistan pun jatuh. Tujuh kelompok Mujaheddin bergabung dan membentuk sebuah
kepemerintahan baru. Mereka dikenal sebagai Aliansi Utara, namun karena terbentuk
dari banyak kelompok etnik, maka perang sipil pun terjadi. Pada tahun 1994,
terbentuklah sebuah kelompok pejuang baru yang menamakan diri the Taliban,
mereka menguasai Afghanistan bagian selatan dan barat. Banyak orang meninggal
akibat pertempuran Mujaheddin melawan the Taliban, perekonomian hancur,
bangunan rusak dan orang-orang kelaparan. Banyak anak yang menjadi yatim piatu
dan wanita menjadi janda.
Sampai pada suatu hari, Laila,
teman Mahboba di kelas bahasa Inggris, menerima sebuah surat dari Dr Nasrin,
seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit dekat pengungsian Jalozai,
Pakistan. Dalam surat itu Dr Nazrin bercerita bahwa dia banyak melewati mayat
anak-anak kecil ketika akan pergi ke busway, banyak anak yang meninggal karena
kelaparan dan penyakit. Bahkan tidak jarang yang makan rumput agar bisa tetap
hidup. Dia menulis: “Can somebody help us, please? Help these children, please”
Mahboba dan teman-temannya
tergerak untuk membatu Dr Nasrin. Mereka melelang barang-barang pribadi dan
menggalang dana untuk dikirim ke Dr Nasrin agar bisa membatu anak-anak yatim
piatu di sana.
Pada tahun 2000, keluarga
Mahboba, paman Haji dan Bibi Rona, pergi untuk melaksanakan ibadah Haji. Ketika
mengunjungi Peshawar, Pakistan dan melihat area pengungsian yang dihuni oleh
banyak orang Afghanistan, hati mereka terketuk. Mereka membandingkan kehidupan
nyaman mereka di Brisbane, Australia, berbeda jauh dengan kehidupan para
pengungsi. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di Peshawar sebagai volunteer, membuat
roti untuk diberikan gratis kepada para pengungsi setiap hari.
Paman Haji memutuskan untuk
membangun sebuah sekolah di Jalozai, dengan menggunakan hartanya dan uang yang
dikirim oleh Mahboba dari Australia. Paman Haji melihat bahwa pendidikan adalah
hal utama yang harus diberikan untuk bisa membangun kembali Afghanistan.
Keadaan kembali parah ketika
adanya serangan ke World Trade Center di New York pada 11 September 2001.
Keberadaan orang-orang Afghanistan yang notebene muslim di Australia mulai
mengalami tidakan racisms.
Pada suatu hari, kegiatan Mahboba
diliput oleh salah satu televisi nasional di Australia. Bantuan semakin banyak
berdatangan, baik dalam bentuk uang maupun sukarelawan yang mengajari Mahboba
kegiatan Administrasi dan mendaftarkan Mahboba’s Promise sebagai sebuah NGO.
Pada tahun 2002, Mahboba bersama
beberapa orang dari pertelevisian Australia
dan para volunteer, pergi untuk mengunjungi Pakistan dan Afghanistan. Mereka
melihat sendiri sekolah yang mereka dirikan, Sabit School, kondisi pengungsian
yang kumuh, kesulitan air, makanan, sebagian besar pengungsi tidak pernah mandi
selama berbulan-bulan. Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri
anak-anak membongkar tempat sampah dan memakan sisa-sisa makanan yang sudah hampir
membusuk dan kotor. Seorang bapak yang rela menjual anaknya karena sudah tidak
mampu membiayai kehidupan mereka.
Hal tersebuh semakin mendorong
Mahboba untuk bisa membantu mereka lebih banyak lagi. Sepulangnya ke Australia,
Mahboba dan paman Haji mulai mendirikan sekolah dan rumah yatim piatu di
Afghanistan.
Kegiatan amal mereka masih
berlangsung sampai sekarang.
Sebuah cerita yang inspiratif.
Buku berbahasa Inggris dengan tebal 272 halaman ini cukup membuatku berpikir
bahwa betapa beruntungnya hidupku, dibandingkan para pengungsi itu. Dari buku
ini aku mengetahui beberapa kebudayaan Afghanistan. Salah satu yang menarik
perhatianku adalah adat poligami. Walaupun poligami sudah menjadi hal biasa di
Afghanistan, bukan berarti semua wanita bisa menerima hal itu.
Bentuk poligami yang terjadi di
buku ini adalah ketika Ibu Mahboba, pulang kampung untuk mengunjungi nenek
Mahboba. Kemudian dia mendengar bahwa suaminya sudah menikah lagi dengan wanita
Afghani lain yang jauh lebih muda. Ibu Mahboba shock dan sakit hati. Kehidupan
suami-istri yang harmonis tiba-tiba berubah dalam beberapa hari. Ibu Mahboba
yang tidak bisa menerima keberadaan istri muda harus merasakan perih. Walaupun
sang suami berjanji untuk adil, pada akhirnya toh istri muda lebih banyak
mendapatkan perhatian. Ketika Ibu Mahboba mengatakan bahwa dia tidak sanggup
menerima kenyataan ini, suaminya meninggalkan dia dan 9 anaknya termasuk Mahboba untuk tinggal
sepenuhnya bersama istri muda.
What the hell is this? See? Posisi wanita tidak pernah diuntungkan,
begitu pula ketika Mahboba diceraikan oleh suaminya, yang tidak terlihat
tanda-tanda untuk memperjuangkan pernikahan mereka, dan kemudian menikah dengan
wanita lain. Walaupun pada akhirnya Mahboba mendapatakan suami baru yang jauh
lebih baik dari Assad.
I hate this shit thing; I still cannot
understand and accept a polygamy concept..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar