Senin, 18 Maret 2013

Mahboba's Promise


Mahboba’s Promise is a book written by Mahboba Rawi. This is an inspiring true story of an extraordinary Australian mother who transforms the lives of hundreds of women and children across the world every day.


Mahboba adalah seorang wanita asal Afghanistan. Dia lahir dan tumbuh dewasa di negaranya, hidup damai dengan ayah, ibu dan saudara-saudarinya. Pada tahun 1980, Rusia menduduki Afghanistan dan melenyapkan semua kehidupan normal dan tenteram di negara itu. Selama kependudukan Rusia, Mahboba masih bersekolah dan aktif memimpin kegiatan protes dan demonstrasi menentang Rusia bersama dengan teman-teman sekolahnya.

Sampai pada suatu hari, Mahboba diburu oleh prajurit Rusia dan akan dijebloskan ke penjara karena aksi protesnya. Mahboba memutuskan untuk meninggalkan negara asalnya dan hijrah ke Pakistan, menjadi pengungsi meninggalkan ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Dia tinggal di Peshawar, sebuah daerah pengungsian di Pakistan.

Mahboba memutuskan untuk meninggalkan Pakistan, dan pindah ke India bersama kakaknya. Sebuah perjalanan yang sulit karena mereka tidak memiliki identitas diri dan harus menyerahkan seluruh harta mereka kepada para petugas agar diperbolehkan melewati perbatasan.
Setelah melalui perjalanan berat, dan berbagai kesulitan ekonomi, akhirnya Mahbona menikah dengan seorang pemuda bernama Assad di India. Mahboba pindah ke Australia 6 bulan kemudian setelah pernikahan mereka.

Mahboba dan Assad membangun sebuah keluarga kecil dan sederhana di Australia. Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Arash dan anak perempuan bernama Tamana. Ayah, ibu dan saudara-saudarinya menyusul Mahboba ke Australia beberapa tahun kemudian. Setelah Arash, putra pertama mereka meninggal dunia, hubungan Mahboba dan Assad menjadi renggang, dan semakin lama semakin memburuk. Mahboba melahirkan putra ketiga yang diberi nama Surroush. Namun, seberapa besar usaha Mahboba untuk mempertahankan pernikahan mereka, pada akhirnya Assad mengirimkan surat cerai kepadanya. Mahboba tidak menginginkan adanya perceraian dan tidak mau menandatangani surat cerai tersebut. Namun, Assad tetap ingin bercerai dan dengan terpaksa pada akhirnya mereka resmi bercerai.

Mahboba yang frustasi atas kehilangan suami dan mulai menjalani kehidupan sebagai janda, mengalami kesulitan ekonomi. Dia mulai kembali bersekolah, melanjutkan pendidikannya yang dulu sempat terhenti. Mahboba mulai berinteraksi dengan sekelompok wanita Afghani.

Mahboba kemudian mulai memikirkan nasib orang-orang di negara asalnya. Setelah kependudukan Rusia berakhir pada tahun 1989, Uni Soviet tetap mensuport kepemerintahan komunis di Afghanistan demi kepentingan ekonomi. Ketika Uni Soviet pecah pada tahun 1992, pemerintah Afghanistan pun jatuh. Tujuh kelompok Mujaheddin bergabung dan membentuk sebuah kepemerintahan baru. Mereka dikenal sebagai Aliansi Utara, namun karena terbentuk dari banyak kelompok etnik, maka perang sipil pun terjadi. Pada tahun 1994, terbentuklah sebuah kelompok pejuang baru yang menamakan diri the Taliban, mereka menguasai Afghanistan bagian selatan dan barat. Banyak orang meninggal akibat pertempuran Mujaheddin melawan the Taliban, perekonomian hancur, bangunan rusak dan orang-orang kelaparan. Banyak anak yang menjadi yatim piatu dan wanita menjadi janda.

Sampai pada suatu hari, Laila, teman Mahboba di kelas bahasa Inggris, menerima sebuah surat dari Dr Nasrin, seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit dekat pengungsian Jalozai, Pakistan. Dalam surat itu Dr Nazrin bercerita bahwa dia banyak melewati mayat anak-anak kecil ketika akan pergi ke busway, banyak anak yang meninggal karena kelaparan dan penyakit. Bahkan tidak jarang yang makan rumput agar bisa tetap hidup. Dia menulis: “Can somebody help us, please? Help these children, please”
Mahboba dan teman-temannya tergerak untuk membatu Dr Nasrin. Mereka melelang barang-barang pribadi dan menggalang dana untuk dikirim ke Dr Nasrin agar bisa membatu anak-anak yatim piatu di sana. 

Pada tahun 2000, keluarga Mahboba, paman Haji dan Bibi Rona, pergi untuk melaksanakan ibadah Haji. Ketika mengunjungi Peshawar, Pakistan dan melihat area pengungsian yang dihuni oleh banyak orang Afghanistan, hati mereka terketuk. Mereka membandingkan kehidupan nyaman mereka di Brisbane, Australia, berbeda jauh dengan kehidupan para pengungsi. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di Peshawar sebagai volunteer, membuat roti untuk diberikan gratis kepada para pengungsi setiap hari.
Paman Haji memutuskan untuk membangun sebuah sekolah di Jalozai, dengan menggunakan hartanya dan uang yang dikirim oleh Mahboba dari Australia. Paman Haji melihat bahwa pendidikan adalah hal utama yang harus diberikan untuk bisa membangun kembali Afghanistan.

Keadaan kembali parah ketika adanya serangan ke World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Keberadaan orang-orang Afghanistan yang notebene muslim di Australia mulai mengalami tidakan racisms. 

Pada suatu hari, kegiatan Mahboba diliput oleh salah satu televisi nasional di Australia. Bantuan semakin banyak berdatangan, baik dalam bentuk uang maupun sukarelawan yang mengajari Mahboba kegiatan Administrasi dan mendaftarkan Mahboba’s Promise sebagai sebuah NGO. 

Pada tahun 2002, Mahboba bersama beberapa orang dari pertelevisian Australia dan para volunteer, pergi untuk mengunjungi Pakistan dan Afghanistan. Mereka melihat sendiri sekolah yang mereka dirikan, Sabit School, kondisi pengungsian yang kumuh, kesulitan air, makanan, sebagian besar pengungsi tidak pernah mandi selama berbulan-bulan. Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri anak-anak membongkar tempat sampah dan memakan sisa-sisa makanan yang sudah hampir membusuk dan kotor. Seorang bapak yang rela menjual anaknya karena sudah tidak mampu membiayai kehidupan mereka.
Hal tersebuh semakin mendorong Mahboba untuk bisa membantu mereka lebih banyak lagi. Sepulangnya ke Australia, Mahboba dan paman Haji mulai mendirikan sekolah dan rumah yatim piatu di Afghanistan.
Kegiatan amal mereka masih berlangsung sampai sekarang.

Sebuah cerita yang inspiratif. Buku berbahasa Inggris dengan tebal 272 halaman ini cukup membuatku berpikir bahwa betapa beruntungnya hidupku, dibandingkan para pengungsi itu. Dari buku ini aku mengetahui beberapa kebudayaan Afghanistan. Salah satu yang menarik perhatianku adalah adat poligami. Walaupun poligami sudah menjadi hal biasa di Afghanistan, bukan berarti semua wanita bisa menerima hal itu.

Bentuk poligami yang terjadi di buku ini adalah ketika Ibu Mahboba, pulang kampung untuk mengunjungi nenek Mahboba. Kemudian dia mendengar bahwa suaminya sudah menikah lagi dengan wanita Afghani lain yang jauh lebih muda. Ibu Mahboba shock dan sakit hati. Kehidupan suami-istri yang harmonis tiba-tiba berubah dalam beberapa hari. Ibu Mahboba yang tidak bisa menerima keberadaan istri muda harus merasakan perih. Walaupun sang suami berjanji untuk adil, pada akhirnya toh istri muda lebih banyak mendapatkan perhatian. Ketika Ibu Mahboba mengatakan bahwa dia tidak sanggup menerima kenyataan ini, suaminya meninggalkan dia dan 9 anaknya termasuk Mahboba untuk tinggal sepenuhnya bersama istri muda.

What the hell is this? See? Posisi wanita tidak pernah diuntungkan, begitu pula ketika Mahboba diceraikan oleh suaminya, yang tidak terlihat tanda-tanda untuk memperjuangkan pernikahan mereka, dan kemudian menikah dengan wanita lain. Walaupun pada akhirnya Mahboba mendapatakan suami baru yang jauh lebih baik dari Assad.
I hate this shit thing; I still cannot understand and accept a polygamy concept..

Tidak ada komentar: